March 13, 2018
0
Dalam kondisi tercabik perang saudara dan dalam durasi tidak
sampai satu bulan, Yaman kehilangan tiga ulamanya. Belum lama ditinggal wafat
pergi Al-Habib Salim Assyathiri pada pertengahan Februari, di awal bulan ini,
Al-Habib Idrus Bin Sumaith syahid di atas sajadahnya. Beliau dibunuh teroris, 3
Maret silam. Dua hari berselang, seorang ulama zahid yang dijuluki 'Ainu Tarim
(matanya Kota Tarim), Al-Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi Bin Syihab
menyusul dua sahabatnya. Tidak sampai satu bulan, Tarim, Hadramaut kehilangan
permata ilmunya. Ketiga ulama ini masyhur ketajaman mata hatinya dan menjadi
punjernya Yaman.
![]() |
Habib Salim Asy Syathiri |
Di awal Maret ini pula, KH. R. Abd Hafidz bin Abdul Qadir
Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, berpulang ke hadirat-Nya. Ulama sederhana yang
menjadi penjaga wahyu sebagaimana ayah dan kakeknya.
![]() |
Habib Idrus bin Sumaith |
Satu persatu tiang pancang ilmu dirobohkan Allah. Kita bersedih
bukan hanya karena ditinggalkan beliau-beliau, melainkan karena kita tidak
mampu menyerap gelontoran ilmu saat beliau masih hidup. Kita juga bersedih bukan
hanya semakin sedikitnya stok ulama, melainkan karena dengan kewafatan
beliau-beliau meninggalkan generasi yang rapuh seperti saya, dan mungkin juga
anda. Wafatnya beliau-beliau menjadi penanda apabila satu ulama berpulang, ikut
pula keilmuan yang dimiliki.
Ibaratnya, dalam dunia sepakbola, satu pemain pensiun tidak akan
bisa digantikan oleh pemain dengan kualitas yang setara. Pele, Maradona,
Zidane, tidak akan bisa digantikan Messi, Ronaldo, Mohammed Salah, dan
sebagainya. Kemampuan mereka genuin, tak bisa dikloning, tidak bisa
dikopipaste. Semua punya karakter dan kemampuan yang khas. Demikian pula dalam
dunia ulama. Satu orang KH. Hasyim Asy'ari tidak bisa ditiru KH. Hasyim Muzadi.
Keduanya punya karakter, keilmuan, dan gaya yang khas.
Di sinilah barangkali alasan mengapa dalam kitabnya, Tanqihul
Qaul, Syekh Nawawi al-Bantani menukil sabda Rasulullah yang termuat dalam
Lubabul Hadits-nya Imam Assuyuthi, bahwa di antara tanda orang munafik adalah
tidak bersedih atas wafatnya seorang ulama (Baginda mengucapkan
"munafik" sebanyak tiga kali). Kalau kita biasa-biasa saja, merasa
wajar atas robohnya tiang rumah kita, berarti ada yang eror dalam pribadi kita.
Demikian pula ketika ada tiang pancang dunia bernama ulama yang wafat dan kita
santai, tidak menampakkan simpati, mungkin ada sesuatu yang hilang dari kita.
Jangan-jangan kita bagian dari kaum munafik itu? Wallahu A'lam.
Karena itu, mengingat gentingnya kewafatan para ulama, Habib
Zain bin Ibrahim bin Sumaith, dalam "al-Manhajus Sawi", membuat
penjelasan tersendiri. Dengan mengutip pendapat Imam Baghawi dalam tafsirnya,
Habib Zain memuat QS. Ar-Ra'd 41 yang artinya "Dan apakah mereka tidak
melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi
daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?" dengan
memaknai apabila "pengurangan" dalam ayat ini bermakna kematian para
ulama dan hilangnya ahli fiqh.
![]() |
Habib Abdullah bin Alwi bin Syihab |
Begitu berharganya seorang ulama, sehingga dalam kitab ini pula
Habib Zain mengutip kalimat Sayyidina Abdullah ibnu Mas'ud Radliyallahu 'anhu,
bahwa kematian seorang ulama adalah lubang dalam Islam dan tidak ada yang bisa
menambalnya sepanjang siang dan malam. Oleh karena itu, kata Ibnu Mas'ud,
carilah ilmu sebelum dicabut. Dan, ilmu dicabut dengan kematian orang-orangnya.
Demikian gawatnya kewafatan seorang ulama, sehingga Sayyidina
Ali Karramallahu Wajhah juga menganalogikannya dengan telapak tangan. Apabila
dipotong salah satunya, maka tidak bisa tumbuh kembali. Demikian beberapa
keterangan yang termuat dalam "al-Manhajus Sawi" karya Habib Zain bin
Ibrahim bin Sumaith.
***
Dalam Konferensi Dakwah yang dihelat di Magelang, 1 Oktober 1951, KH. A. Wahid
Hasyim melontarkan statemen keras, bahwa saat itu sebutan ulama sudah mengalami
inflasi.
Inflasi tersebut, menurut Kiai Wahid, diakibatkan dari banyaknya
ulama ‘palsu’ yang beredar sebagaimana inflasi dalam bidang ekonomi karena
banyaknya peredaran uang palsu. Banyak orang yang disebut ulama hanya untuk
menunjukkan bahwa menjadi ulama itu tidak sulit. Meskipun pengetahuan keagamaan
mereka dangkal, tetapi mereka dipandang sebagai pemimpin Islam. Mereka justru
malah memimpin para ulama yang sesungguhnya, bahkan membatasi ruang geraknya.
Statemen Kiai Wahid Hasyim di atas dikemukakan kembali oleh KH
Saifuddin Zuhri dalam bukunya "Berangkat dari Pesantren". Jika di era
1950-an saja Kiai Wahid menilai seperti itu, lantas bagaimana dengan kondisi
sekarang, di mana selain banyak yang mendaku diri sebagai ulama, juga ada yang
berlagak mujtahid mutlak yang dengan songong dan sombong bilang tidak perlu
merujuk pendapat otoritatif para ulama, cukup merujuk pada al-Qur'an dan
Assunnah.
Benarlah jika demikian, kewafatan para ulama ternyata juga
memunculkan generasi yang tidak tahu diri karena terlalu tinggi menilai
kualitas dirinya.
WAllahu A'lam Bisshawab
Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr PCNU Kota Surabaya)