November 19, 2017
0

Sebelum Muhammad menjalankan bisnisnya ke Syam. Muhammad memang telah dikenalnya juga melalu pembicaraan para warga Mekkah, bagaimana sikap jujur, bersih, menjaga diri dan sopannya serta jiwa ksatrianya. Ia tahu Muhammad bukanlah pemuda biasa. Ditambah lagi dengan cerita Maisarah ketika menemani dan membantu Muhammad selama di Syam.
Cerita-cerita Maisarah tentang keajaiban yang terjadi pada
Muhammad semakin membuat Khadijah berdecak kagum dan menaruh hormat kepada
Muhammad. Tiba-tiba menyelinap rasa penasaran yang lebih besar dalam diri
Khadijah. Dan ia teringat akan cerita sepupunya yang merupakan seorang ahli
kitab yang masih sangat ketat ketauhidannya. Ia menyembah Allah yang satu,
dengan mewarisi ajaran Ibrahim, serta tekun mempelajari kitab Taura dan Injil..
Ia juga sangat anti dan mencela kebiasaan orang Qurays yang menyembah berhala
dan menyekutukan Allah, Waraqah bin Nauval. Ia pernah bercerita akan segera
datang Nabi yang menyeru kepada Tauhid, mengajak kepada kebaikan dan
menghindari segala perbuatan yang buruk dan menghinakan.
Khadijah yang mengingat cerita tersebut, teringat akan
Muhammad. Ia merasakan getir-getir bahwa Muhammad sepertinya orang yang
diceritakan. Karena keluhuran sikapnya, dan keajaiban perlindungan yang
didapatkannya.
Segera Khadijah berangkat menuju Waraqah. Dia pun bercerita
tentang apa yang diceritakan Maisarah kepadanya. Waraqah pun berdecak kagum.
Dan meminta Khadijah menceritakan ulang dari awal. Sehingga ia tak bisa
berkata-kata untuk waktu yang sementara. Keduanya terdiam, lalu dengan sedikit
gugup, Waraqah mencoba membuka mulut. “Kalau benar apa yang telah kau ceritakan
itu, wahai Khadijah, sungguh tak ayal, itu adalah ciri-ciri dari Nabi umat ini.
Inilah saat yang ditunggu-tunggu itu. Setelah berkata demikian, Waraqah
mengangkat tangan ke langit dan berseru setengah berteriak, “Sampai kapan,
sampai kapan?”
Khadijah pun beranjak meninggalkan sepupunya itu dengan
perasaan tak menentu. Berjuta rasa bergejolak dalam jiwanya. Makin hari,
semakin tak terkendali. Ia membayangkan Muhammad, namun ia berusaha menepisnya.
Tapi ayal, semakin ditepis, bayangan itu semakin nyata dalam benaknya. Ia
menutup mulut rapat-rapat, tak menceritakan kepada siapapun apa yang dipikirkan
dan dirasa olehnya. Ia pun berusaha untuk menjadikan bayangan itu menjadi
impian saja. Membuat hatinya sedikit lebih tenang. Hanya saja, semakin
berlalunya waktu, impian yang dikenangnya itu semakin membuncah hendak keluar
dari alam mimpi. Ia benar-benar tak berkutik, ak mampu ia menanggung
perasaannya.
Ia pun memutuskan untuk menceritakan kepada orang lain. Dia
memilih Nafisah binti Munyah, yang merupakan teman terdekatnya. Selama ini,
kedekatan mereka sangatlah rapat. Hampir tidak ada rahasia diantara keduanya.
Selain bisa dipercaya untuk berbagi cerita, Bnafisah juga memiliki pendapat dan
pandangan yang mantap terhadap apa saja curhatan yang dilontarkan Khadijah
selama ini.
Di suatu sore, mereka perempuan yang anggun lagi terhormat
ini duduk berdua, Khadijah mencoba menjadi seperti biasanya, mereka bercanda,
saling menggoda dan bercerita hatta perihal cinta. Tiba-tiba Nafisah memotong
pembicaraan dan menembak ke arah Khadijah, “Kulihat ada yang berbeda dengan mu
hari ini duhai sahabat ku. Wajah mu sedikit mendung, adakah yang kau
sembunyikan dariku? Atau hanya dugaan ku saja.” Khadijah pun terdiam, serasa
tertembak di ulu hati, ia tercekat.
Nafisah yang melihat gelagat sahabatnya pun melanjutkan,”
Katakanlah pada ku, ceritakan apa yang sedang kau hadapi saat ini, apa yang kau
pikir dan kau rasakan. Barangkali aku bisa membantu mu menyelesaikan
masalahnyaa. Siapa tahu aku bisa menghapus kesedihan yang tersrat di wajah
anggun mu.”
Khadijah masih terdiam, lalu ia menarik nafas dalam-dalam
untuk memantapkan perasaannya. Lalu ia pun berkata, “Baiklah. Ini semua terjadi
karena ada keinginan dihati ku yang membuat aku kacau.”
“Orang seperti mu bisa dihampiri oleh perasaan dan keinginan
yang membuat mu kacau juga?” timpal Nafisah dengan nada bertanya. Khadijah
menngangkat sebelah tangannya dan menyapu ke wajah sahabatnya itu, “masalahnya
tak sesederhana yang kau duga.” Kilah Khadijah.
“Lalu?”, Nafisah penasaran.
Khadijah pun kembali terdiam. Nafisah menunggu hampir putus
asa, tak ada jawaban dari Khadijah. “Apa pendapatmu tentang Muhammad?” Tanya
Khadijah memcah kesunyian diantara mereka.
“Kenapa dengan Muhammad? Apa peduli mu tetang dirinya?”
sentak kemudian, Nafisah yang berkata seperti itu sadar, apa yang sebenarnya
sedang bergejolak di hati sahabatnya itu. Matahari sore yang memantul diatas
ufuk langit Mekkah pun mewarnai kesunyian diantara mereka.
Khadijah sadar temannya telah mengetahui maksud dan arah pembicaraannya,
ia pun memberanikan diri untuk bercerita lebih lanjut,”tetapi mana mungkin aku
dengan Muhammad? Dia adalah seorang pemuda belia yang gagah perkasa, sedangkan
aku sudah tua, umurku telah mencapai empat puluh, lima belas tahun lebih tua
darinya, aku juga seorang janda yang ditinggal mati dua kali. Dia adalah orang
yag terpandang dari keturunan ternama, dimuliakan di tengah kaumnya, nasabnya
bersih. Apakah mungkin dia mau menerima ku?”.
“Tidak Khadijah!” Sergah Nafisah. “Meskipun umur mu tak lagi
muda, di tengah kaummu, kau tetap utama, kau juga memiliki nasab yang agung,
kau tampak masih muda dan kuat, bahkan jujur saja, kau tampak masih berumur
tiga puluh tahun bahkan lebih muda. Dan jangan lupa, hampir setiap lelaki
membincangkan mu, mereka datang melamar mu, namun semuanya kau tolak. Itu cukup
sebagai bukti.”
Ucapan dari sang sahabat dekat mampu membuat Khadjiah
sedikit leboh tenang. Ia lega dengan kalimat yang dilontarkan sahabatnya.
Seolah menumbuhkan harapan baru terhadap mimpinya bisa menjadi kenyataan. Atau
setidaknya, ia telah merasa lega, karena telah meluahkan perasaanya yang selama
ini mendidih di dalam jiwanya. Sejurus kemudian, Khadijah malah berkata,”
tetapi, manakah jarak hasrat ku dan hasrat Muhammad ibn Abdillah, antara cinta
ku dan cintanya? Bagaimana ia bisa tahu jalan menuju keberadaan ku? Nafisah,
apa yang kita bicarakan ini tak lebih dari seiris mimpi yang jauh dari
kenyataan, yang akan segera sirna disaat mata terjaga. Mugkin ini hanya puncak
lamunan ku saja.”
Nafisah pun tersenyum, lalu samil menepuk dada tanda percaya
diri yang tinggi, ia berujar, “Serahkan urusan itu pada ku, pasti bisa
kuselesaikan dengan mulus seperti ingin mu.” Setelah berkata itu, Nafisah
bangkit dan berlalu, meninggalkan Khadijah sendirian. Ia pun ikut beranjak,
sambil berjalan ia melihat para gadis dan anak-anak sedang bermain di dekatnya.
Pikirannya malah melayang ke sebuah kejadian beberapa tahun lalu.
Waktu itu waktu dhuha, Khadijah yang sedang bermain-main
bersama teman-teman ciliknya di sebuah suddut kota Mekkah, didatangi oleh
seorang kaum Yahudi yang entah darimana datangnya. Mungkin ada sebuah kekuatan
ghaib yang mengarahkan dan membawanya ke bumi Mekkah. Pria itu berhenti tepat
di hadapan Khadijah dan teman-temannya, dan tertawa sejadi-jadinya. “telah
datang masa kedatangan nabi terakhir, siapa diantara kalian yang dapat menjadi
istrinya, maka lakukanlah!” teriaknya.
Tersentak para wanita-wanita tersebut, mereka mencemooh, mengusir dan melempari dengan batu si Yahudi. Karena menganggap dia orang yang tidak waras, dengan sikapnya seperti orang gila. Hanya Khadijah yang tidak ikut serta. Khadijah malah terkesan dengan kata-kata yang keluar darinya.
Tersentak para wanita-wanita tersebut, mereka mencemooh, mengusir dan melempari dengan batu si Yahudi. Karena menganggap dia orang yang tidak waras, dengan sikapnya seperti orang gila. Hanya Khadijah yang tidak ikut serta. Khadijah malah terkesan dengan kata-kata yang keluar darinya.
Khadijah yang terkenang akan masa lalunya, bertanya-tanya
pada dirinya sendiri, apa gerangan yang membuatnya malah mengingat kenangan
itu, apa di balik semua ini?
Hari-hari pun terus berlalu. Khadijah tetap berada dalam
posisi menunggu dengan perasaan tak karuan. Sementara Nafisah telah menyusun
rencana. Di pagi hari, Nafisah bergegas menuju Ka’bah dan mencari Muhammad.
Begitu ia melihat dan mendapati Muhammad, ia buntuti dari belakang. Ia menunggu
kesempatan untuk bisa berbicara dengan Muhammad, hanya berdua saja. Maka, tiba
di tempat yang sunyi, Nafisahh mendekat dan setengah berbisik berkata kepada Muhammad,”
Muhammad, aku nafisah binti Munyah. Aku datang membawa berita tentang perempuan
agung yang suci dan mulia. Dia sosok yang sempurna, cocok untuk mu. Kalau
engkau bersedia, ku sebutkan namanya, dan menyebut namamu disisinya.”
Muhammad terdiam sesaat. Kata-katanya mengejutkan beliau,
“Siapakah dia?” Muhammad penasaran.
“Ia adalah Khadijah binti Khuwailid. Tentu kau sudah
mengenalnya.” Melihat gurat wajah penuh kharisma yang sedang dilanda rasa
beragam rupa, Nafisah melanjutkan,”Tak usah kau jawab sekarang, ambillah waktu
mu untuk berpikir-pikir dahulu dengan matang. Aku akan menemui mu kembali besok
atau lusa.” Nafisah pun berlalu, khawatir dilihat oleh orang lain.
Perkataan Nafisah menjadi beban pikiran Muhammad. Ia heran
kenapa ada perempuan yang menyodorkan berita yang belum pernah terlintas
dipikirannya selama ini. Adakah ini hanya basa-basi atau ledekan dari perempuan
yang sedang iseng? Atau ini murni dari hati Khadijah? Atau memang sekedar
olok-olok. Dalam hati kecil Muhammad bertanya, apakah mungkin Khadijah mau
dengannya? Khadijah adalah perempuan yang cerdas, terpandang dan kaya raya.
Keagungannya tidak diragukan lagi, sedangkan dirinya hanya pemuda biasa bahkan
tergolong miskin. Ia hanya pembantu bisnis Khadijah.
Setelah menganalisa berbagai kejadian terutama, kenekadan
Nafisah yang dengan polos dan bersihnya cara penyampaian, kuat keyakinan bahwa
itu benar-benar utusan Khadijah. Disampaikanlah kepada Abu Thalib dan seluruh
keluarga besarnya, untuk bahan pertimbangan melalui musyawarah keluarga besar
hingga akhirnya sepakat untuk datang melamar Khadijah.
In syaa Allah akan dilanjutkan pada tulisan berikutnya
bagaimana proses lamaran dan awal mula kehidupan Nabi Muhammad SAW bersama
Khadijah sang Istri Tercinta.